Minggu, 06 Maret 2011

KEBIJAKAN DAN STRATEGI
POLMAS POLRI



KEBIJAKAN
DAN STRATEGI

PENERAPAN
MODEL PERPOLISIAN MASYARAKAT

DALAM
PENYELENGGARAAN TUGAS POLRI

I.
PENDAHULUAN.

1.
Umum


a.
    Dalam kehidupan masyarakat madani yang bercirikan demokrasi dan supremasi
hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus mampu memberikan
jaminan keamanan, ketertiban dan perlindungan hak asasi manusian kepada
masyarakat serta dapat menunjukan transparasi dalam setiap tindakan, menjujung
tinggi kebenaran, kejujuran, keadilan, kepastian dan manfaat sebagai wujud
pertanggung-jawaban tehadap publik (akuntabilasi publik).

b.
    Proses reformasi yang telah dan sedang berlangsung untuk menuju masyarakat
sipil yang demokratis membawa berbagai perubahan didalam sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses
reformasi untuk menjadi Kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma yang
menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan)
menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan
mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. Model
penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut dikenal dengan berbagai nama seperti
Community
Oriented Policing, Community Based Policing

dan
Naighbourhood
Policing

dan akhirnya popular dengan sebutan
Community
Policing
.

c.
    Beberapa tahun belakangan, lembaga-lembaga donor yang bermaksud memberi
dukungan dalam proses reformasi Polri menawarkan bantuan dana untuk
proyek-proyek pengembangan
Community
Policing
.
Polda NTB yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Mataram merupakan satuan
organisasi Polri yang pertama kali (2001) menangkap peluang tersebut dengan
menyelenggarakan proyek yang disebut “Pengembangan Kepolisian Nasional
Berorientasi Masyarakat Lokal“ atas dukungan biaya
“Partnership” setelah
itu sejumlah Polda menyelenggarakan proyek serupa, misalnya Polda Kalbar, Polda
Jawa Timur dan Polda Jawa Barat dengan mengimplementasikan
Community
Policing
dan
membangun forum kemitraan Polisi masyarakat pada tingkat Polsek atas dukungan
biaya dari International Organization For Migration (IOM). PoLDA Metro Jaya /
Polres Bekasi mengembangkan program
Community
Policing

dengan mengadopsi pola “Koban” di Jepang atas dukungan biaya Japan International
Coordination Agency (JICA). Polda DIY mengembangkan program
Community
Policing

dengan dukungan biaya The Asia Fondation. Penerapan model
Community
Policing

melalui berbagai proyek tersebut didasarkan atas resepsi masing-masing
penyelenggara proyek sehingga menimbulkan kekurangan-sinkronan dalam
implementasinya.

d.
    Cara “Tradisional” Polri mengembangkan program bimbingan masyarakat (Bimmas)
dan program-program yang berkaitan dengan Sistem Keamanan Swakarsa
(Siskamswakarsa). Program Siskamswakarsa dilakukan melalui sistem keamanan
lingkungan (Siskamling) yang meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan
pendidikan dan lingkungan kerja sebagai bentuk pengamanan Swakarsa sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Babinkamtibmas (Bintara Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) berperan
sebagai ujung tombak pelaksanaan Siskamswakarsa/Siskamling. Selain membawa
berbagai manfaat, pola penyelenggaraan tugas Polri yang bersifat
“Pre-emtif” dengan
pendekatan “Bimmas/Babinkamtibmas” yang mencerminkan hubungan struktural
“Kekuasaan” dipandang perlu untuk disesuaikan untuk perkembangan masyarakat
madani.

e.
    Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan diatas maka dipandang
perlu untuk mengadopsi konsep
Community
Policing

dan menyesuaikannya dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia
serta dengan cara dan dengan nama Indonesia. Tanpa mengeyampingkan kemungkinan
penggunaan penterjemahan istlah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis
secara formal oleh jajaran polri, model tersebut diberi nama
“Perpolisian
Masyarakat”
dan
selanjutnya secara konseptual dan operasional disebut
“Polmas”.
Pemikiran-pemikiran yang berkenaan dengan pengembangan Polmas dipandang perlu
dituangkan dalam suatu naskah kebijakan dan strategi organisasi.

II
KONSEP PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS)

1.
Latar Belakang

a.
    Sebelum konsep
Community
Policing

diluncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas
Kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan
hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya
semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi Kepolisian dipandang
semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan
represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian. Walaupun
prinsip-prinsip “melayani dan melindungi”
(to
serve and to protect)

ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba
sama/seragam mewarnai penyajian layanan Kepolisian. Gaya perpolisian tersebut
mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan
‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu Polisi cenderung
menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan
ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada
memudarnya legitimasi Kepolisian dimata publik pada satu sisi, serta semain
berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanan tugas Kepolisian maupun buruknya
citra polisi pada sisi lain.

b.
    Kondisi seperti diutarakan pada huruf a, juga terjadi di Indonesia,
lebih-lebih ketika Polri dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan Polisi
merupakan pajurit ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan
tindakan yang kaku bahkan militeristik yang tidak profesional. Kepolisian,
utamanya penegak hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka
terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Disisi lain pelaksanaan tugas
Kapolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya untuk
menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang
Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat Swakarsa, Polri dibebani tugas sebagai ujung tombak terdepan.
Pendekatan demikian memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai obyek dan
Polisi sebagai subjek yang “serba lebih” sehingga dianggap figur yang mampu
menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan Kamtibmas yang dihadapi
masyarakat.

c.
    Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara Universal terutama
dinegara-negara maju, masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan cara-cara
lembaga pemerintah yang birokrasi, resmi, formal/kaku, general/seragam dan
lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdaoat kecenderungan bahwa
masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan
pemecahan masalah daripda sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam
bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga,
penyelesaian dengan mekanisme informal dibanding lebih efektif daripada proses
sistem peradilan pidana formal yang diacapkali kurang memberikan peranan yang
berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang
dideritanya.

d.
    Kondisi sebagaimana diutarakan diatas mendorong diluncurkannya
program-program baru dalam menyelenggarakan tugas Kepolisian terutama yang
disebut
Community
Policing.
Lambat
laun
Community
Policing
tidak
lagi hanya merupakan suatu program dan garis miring atau strategi melainkan
suatu falsafah yang menggeser paradigma convensional menjadi suatu model
perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan
masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi mitra Kepolisian dan pemecahan
masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan daripada sekedar proses
penanganan yang formal/prosedural.

e.
    Dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung
dalam konsep
Community
Policing
pada
hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat
dari nilai-nilai siso-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjunjung
nilai-nilai sosial daripada individu. Pelaksanaan lingkungan secara swakarsa
pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu
nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan) dalam menyelesaikan
masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam
masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu dikenal adanya “Hakim
Perdamaian” desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal yang dapat berperan
sebagai faktor pendukung yang efektif dalam pembangunan
Community
Policing

“ala” Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan
upaya membangun masyarakat madani khususnya Kapolisian “sipil” yang menekankan
pada pendekatan kemanusian khususnya perlindungan hak-hak asasi manusia dalam
pelaksanaan tugas Kepolisian.

2. Pengertian

a.
    Konsep Polmas mencangkup 2 (dua) unsur : Perpolisian dan masyarakat. Secara
harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata
“Policing”
berarti segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian.

Dalam
konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut opersionalisasi (taktik/teknik)
fungsi Kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh
mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk
pemikiran-pemikiran filsafati yang meletarbelakanginya.

b.
    Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata “
Community” (komunitas)
dalam konteks Polmas berarti :

1).
    Warga masyarakat atau komunitas yang berada didalam suatu wilayah kecil yang
jelas batas-batasnya
(geographic-community).
Batas wilayah komunitas ini harus dilakukan dengan memperhatikan keunikan
karakteristik geografis dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama kefektifan
pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT,
RW, Desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/Mall, Kawasan Industri,
pusat/komplek olah raga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain.

2).
    Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas
diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah
lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki
kesamaan kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar etnis/suku, kelompok
berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobi dan sebagainya. Keompok ini
dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan
(Community
Of Interest)
.

c.
    Sebagai suatu strategi, Polmas berarti : model perpolisian yang menekankan
kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam
menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan
dan ketertiban masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan
tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta
meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

1)
    Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi
semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian melainkan
sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan
lingkungan yang aman dan tertib sebagai ketentraman dan keselamatan kehidupan
bersama mereka yang fasilitasi oleh [etugas Kepolisian yang berperan sebagai
petugas Polmas dalam suatu kemitraan.

2)
    Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha
menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar pemecahan
masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga
serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam
kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya susunan kehidupan bersama yang damai
dan tentram.

3)
    Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan masyarakat
setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan sendiri pengelolaan keamanan
dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial dan garis miring atau
kesepakatan-kesepakatan lokal dengan mengindahkan peraturan-peraturan hukum yang
bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia)
dan kebebasan individu yang bertanggung jawb dalam kehidupan masyarakat yang
demokratis.

d.
    Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an
penyelenggaraan fungsi Kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga tidak
semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep
Community
Policing.

e.
    Mengacu pada uraian diatas, Polmas pada hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur
utama yaitu :

1)
    Membangun kemitraan antara Polisi dan Masyarakat.

2)
    Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat
lokal.

f.
    Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model perpolisian
yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan
menampilkan sikap santun dan saling mengahargai antara Polisi dan Warga dalam
rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi
Kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat”.

3.
Perwujudan Polmas.

a.
    Model Polmas dapat mengambil bentuk :

1)
    Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan
pemukiman ( RW / RK / dusun / desa / kelurahan ). Pembentukan Polmas model ini
harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses
ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi.

2)
    Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan
yang jelas (mall/pusat perdagangan/pertokoan/perkantoran/kawasan industri).
Pembentukan Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama.

b.
    Pembentukan Polmas mempersyaratkan :

1)
    Adanya seorang petugas Polmas yang ditugaskan secara tetap untuk model
kawasan.

2)
    Model kawasan mempersyaratkan adanya “Pos” (balai) sebagai pusat layanan
Kepolisian sedangkan model wilayah dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia
pada kantor desa/kelurahan atau tempat tinggal Polmas.

3)
    Adanya suatu forum kemitraan yang keanggotaannya mencerminkan keterwakilan
semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas dan Pemerintah
setempat.

c.
    Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan perilaku
setiap anggota Polri yang mencerminkan pendekatan kemanusiaan baik dalam
pelaksanaan tugas pelayanan Kepolisian maupun dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.

4.
Operasionalisasi Polmas.

a.
    Prinsip-prinsip operasionalisasi Polmas meliputi :

1)
    Transfarasi dan akuntabilitas :

Operasionalisasi
Polmas oleh petugas Polmas dan forum kemitraan harus dilakukan secara terbuka
dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat setempat.

2)
    Partisipasi dan kesetaraan :

Operasionalisasi
Polmas harus dibangun atas dasar kemitraan yang serta dan saling mendukung
dengan menjamin keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan dan
menghargai perbedaan pendapat.

3)
    Personalisasi :

Petugas
Polmas dituntut untuk memberikan layanan kepada setiap warga dengan lebih
menekankan pendekatan pribadi daripada hubungan formal yang kaku dengan
menciptakan hubungan yang dekat dan saling kenal diantara mereka.

4)
    Penugasan permanen :

Penempatan
anggota Polri sebagai petugas Polmas merupakan penugasan yang permanen untuk
jangka waktu yang cukup lama, sehingga memiliki kesempatan untuk membangun
kemitraan dengan warga masyarakat dalam wilayah yurisdiksi yang jelas
batas-batasnya.

5)
    Desentralisasi dan otonomisasi :

Operasionalisasi
Polmas Mensyaratkan adanya desentralisasi kewenangan yang meliputi pemberian
tanggung jawab dan otoritas kepada petugas Polmas dan forum kemitraan
Polisi-Masyarakat (FKPM) sehingga merupakan pranata yang bersifat otonom dalam
mengambil langkah-langkah pemecahan masalah termasuk penyelesaian konflik antar
warga maupun antar warga dengan Polisi/Pejabat setempat.

b.
    Keefektifan operasionalisasi Polmas ditentukan oleh hal-hal sebagi berikut
:

1)
    Perubahan pendekatan manajerial yang meliputi :

a)
    Kapolsek bertanggung-jawab untuk menunjang keberhasilan petugas
Polmas.

b)
    Kapolres beserta staf terkait bertanggung jawab untuk memperoleh dan
menyediakan sumber daya dan dukungan yang perlukan untuk pemecahan
masalah.

2)
    Perubahan persepsi dikalangan segenap anggota Kepolisian setempat bahwa
masyarakat adalah
stakeholder
bukan saja kepada siapa Polisi memberikan layanan tetapi juga kepada siapa
mereka bertanggung jawab.

3)
    Pelaksanaan tugas setiap anggota satuan fungsi operasional Polri harus
dijiwai dengan semangat
“melayani
dan melindungi”

sebagai suatu kewajiban profesi.

4)
    Kerjasama dan dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD serta segenap komponen
terkait, yaitu : Instansi Pemerintah terkait, pengusaha, lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan (termasuk LSM) dan media massa (media elektronik dan media
cetak).

III
ARAH DAN KEBIJAKAN

1.
Tujuan penerapan Polmas

a.
    Tujuan penerepan Polmas adalah terwujudnya kerjasama Polisi dan Masyarakat
lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam
rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat
setempat.

b.
    Menanggulangi kejahatan dan ketidak tertiban sosial mengandung makna bukan
hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan
yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber
dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan
pertama jika terjadi kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian
antar
warga
sehingga tidak
memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan
pidana.

c.
    Menciptakan ketentraman umum mengandung makna bahwa yang dituju oleh Polmas
bukan hanya sekedar ketiadaan gangguan faktual terhadap keamanan dan ketertiban
tetapi juga perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas
mereka.

d.
    Kerjasama Polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekedar bekerja
bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban
sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses
manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/pengendalian dan
analisis/evaluasi atas pelaksanaanya. Karena itu, sebagai suatu tujuan,
kerjasama tersebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir.
2.
Sasaran Penempatan Polmas


a.
    Untuk memungkinkan terbangunnya kerjasama yang menjadi tujuan penempatan
polmas maka sasaran yang harus dicapai adalah membangun Polri yang dapat
dipercaya oleh warga setempat dan membagun komunitas yang siap bekerjasama
dengan Polri dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta
menciptakan ketentraman warga setempat.

b.
    Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap
personel Polri, baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari komunitas
maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari bahwa warga komunitas
adalah
Stakeholder
kepada siapa mereka dituntut untuk menyajikan layanan Kepolisian sebagaimana
mestinya.

c.
    Komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan bersama warga yang
walaupun dengan latar belakang kepentingan yang berbeda memahami umum merupakan
tanggung jawab bersama antar warga dan antara warga dengan Polisi.

3.
Kebijakan Penerapan Polmas

a.
    Sebagaimana diutarakan sebelumnya, Polmas bukan hanya semacam program dalam
penyelenggaraan fungsi Kepolisian tetapi merupakan suatu metafora yang menuntut
perubahan yang mendasar ke arah personalisasi penyajian layanan Kepolisian.
Perubahan demikian sudah barang tentu akan membawa konsekuensi dalam pelaksanaan
tugas Polri sebagai aparat penegak hukum dalam suatu masyarakat demokratis yang
menjunjung supremasi hukum seperti di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan dasar
yang harus diletakkan adalah bahwa penerapan Polmas hanya direalisasikan pada
level local terutama lingkungan komunitas yang mencerminkan keidupan bersama
yang komunitarian.

b.
    Penerapan Polmas secara local tidak berarti bahwa prosesnya hanya dilakukan
terbatas pada tataran operasionbal tetapi harus berlandaskan pada kebijakan yang
komprehensif mulai dari tataran konseptual pada level manajemen
puncak.

c.
    Sebagai suatu pendekatan yang bersifat komprehensif maka kebijakan penerapan
Polmas menyangkut bidang-bidang organisasi/kelembagaan, manajemen sumberdaya
manusia, manajemen logistik, dan manajemen anggaran/keuangan serta manajemen
operasional Polri.

d.
    Dalam bidang organisasi/kelembagaan, kebijakan yang digariskan meliputi
:

1)
    Penyelenggaraan fungsi pembinaan Polmas harus distrukturkan dalam suatu
wadah organisasi tersendiri yang dapat dihimpun bersama fungsi-fungsi terkait,
mulai dari tingkat Markas Besar sampai sekurang-kurangnya pada tingkat
Polres.

2)
    Petugas Polmas merupakan ujung tombak (
community
officer
)
yang berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan beroperasinya Pomas dan
sekaligus penghubung antara kesatuan Polri dan komunitas setempat.

3)
    Penilaian keberhasilan pimpinan satuan organisasi pada tingkat operasional
(Polsek/Polres) lebih ditekankan pada kemampuannya untuk mengembangkan dan
menjamin keefektifan Polmas disamping aspek-aspek lainnya.

4)
    Penerapan Polmas memprasyaratkan adanya kesamaan komitmen dan kerjasama
dengan segenap instansi terkait terutama pemerintah daerah sebagai pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya local dan yang pada gilirannnya
ikut memetik manfaat dari keberhasilan Polmas dalam peningkatan kesejahteraan
warganya.

e.
    Dalam bidang manajemen sumberdaya manusia, kebijakan yang digariskan
meliputi:

1)
    Penambahan kekuatan personel Polri harus secara bertahap memperhitungkan
pemenuhan kebutuhan tenaga petugas Polmas sehingga setiap desa/kelurahan
diharapkan dapat terisi dengan sekurang-kurangnya seorang petugas
Polmas.

2)
    Kurikulum setiap program pendidikan pertama dan pengembangan umum harus
mencakup mata pelajaran/mata kuliah Polmas yang silabus dan satuan acara
pelajaran/perkuliahannya disesuaikan dengan jenjang dan jenis
pendidikannya.

3)
    Pada setiap Polda atau sekurang-kurangnya gabungan dari beberapa Polda
tetangga harus diselenggarakan sekurang-kurangnya satu kali program pelatihan
khusus tentang Polmas setiap tahun dalam rangka penyegaran pengetahuan dan/atau
regenerasi petugas Polmas.

4)
    Pemilihan personel untuk ditugaskan sebagai petugas Polmas harus
memperhitungkan latar belakang pengalaman tugas pada satuan–satuan fungsi
operasional dan aspek moral/kepribadian yang mendukung pelaksanaan misinya
sebagai petugas Polmas.

5)
    Sistem pembinaan personel harus menjamin terbukanya peluang peningkatan
karier yang proaktif bagi petugas/pembina Polmas yang dinilai berhasil membina
dan mengembangkan Polmas.

f.
    Dalam bidang manajemen logistik program pengadaan materi Polri harus secara
bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan peralatan untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan misi petugas Polmas sehingga petugas Polmas pada setiap
desa kelurahan diharapkan dapat dilengkapi dengan sepeda motor dan alat
komunikasi.

g.
    Dalam bidang manajemen anggaran/keuangan kebijakan yang digariskan meliputi
:

1)
    Perhitungan rencana anggaran Polri harus mengalokasikan biaya operasional
yang selayaknya untuk menjamin aktivitas dan dinamika pelaksanaan tugas Polmas
termasuk biaya manajemen pada setiap tingkatan organisasi dalam rangka secara
terus-menerus memantau, mengawasi/mengendalikan, mengarahkan dan menilai
keberhasilan pelaksanaan penerapan Polmas.

2)
    Untuk mengembangkan program-program Polmas, masing-masing kesatuan
kewilayahan dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor baik
internasional maupun nasional dan local.

3)
    Untuk menjamin keberlangsungan Polmas masing-masing kesatuan kewilayahan
perlu melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat sehingga
operasionalisasi Polmas dapat merupakan program pemerintah daerah yang didukung
dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan.

h.
    Dalam bidang operasional, kebijakan yang digariskan meliputi :

1)
    Penerapan Polmas sebagai suatu strategi diimplementasikan hanya pada tataran
local dimana model perpolisian dioperasionalisasikan.

2)
    Penerapan Polmas sebagai suatu falsafah diimplementasikan dalam pelaksanaan
tugas masing-masing satuan fungsi operasional Polri termasuk tampilan setiap
personel Polri dalam kehidupan social kemasyarakatan.

IV.
STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN POLMAS


1.
Strategi Internal (Polri)

a.
    Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumberdaya Manusia khusus bagi petugas Polmas
yang meliputi :

1)
    Rekruitmen.

2)
    Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (Master trainers) maupun
petugas Polmas

3)
    Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan
supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya.

4)
    Penilaian kinerja dengan membuiat standar penilaian baik untuk perorangan
maupun kesatuan

5)
    Penghargaan dan penghukuman

b.
    Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara
bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

c.
    Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas
Polmas.

d.
    Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas
Polmas

e.
    Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi
penerapan Polmas sehingga :

1)
    Setiap aktivitas penyajian layanan Kepolisian mencerminkan suatu pendekatan
yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam rangka menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

2)
    Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum menunjukan sikap dan
perilaku yang korek serta dalam kehidupan di lingkungan pemukiman / kerja
senantiasa berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

f.
    Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program Polmas pada
satuan-satuan fungsi operasional Kepolisian tingkat Polres keatas.

2.
Strategi Eksternal (masyarakat)

a.
    Mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah DPRD dan instansi terkait
lainnya.

b.
    Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh social termasuk
pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam rangka
memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program
Polmas.

c.
    Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan
setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas
Kamtibmas.

d.
    Membentuk Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama
antara Polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam
lingkungannya.

e.
    Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitas-komunitas sehingga
secara bertahap dapat diimplementasikan pada setiap lingkungan kehidupan
masyarakat lokal.

f.
    Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum Kemitraan
Polisi-Masyarakat dengan kesatuan Polri setempat termasuk memantau,
mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan
penilaian atas keefektifan program Polmas

g.
    Membentuk Pusat Study Polmas di lingkungan PTIK yang berfungsi sebagai pusat
kajian dan informasi serta sarana pengembangan yang berkaitan dengan
Polmas

3.
Program Pengembangan Polmas 2006 - 2009

a.
    Tahun 2006 : Tahap Sosialisasi

1)
    Mensosialisasikan falsafah strategi, prinsip-prinsip dan program-program
Polmas dalam lingkungan Polri dan masyarakat.

2)
    Mendidik dan melatih master trainers sebagai agen perubahan yang nantinya
bertugas untuk mendidik para petugas Polmas dan petugas Polisi pada satuan
kewilayahan dan satuan fungsi lainnya.

3)
    Menyiapkan petugas Polmas yang akan mengawaki pelaksanaan program Polmas
baik dengan meningkatkan kemampuan Babinkamtibmas yang sudah ada maupun mendidik
petugas baru.

4)
    Mendorong percepatan penciptaan kondisi internal yang kondusif dalam rangka
menumbuh kembangkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

5)
    Menyesuaikan operasionalisasi program-program Bimmas
Binkamtibmas/Siskamswakarsa dengan konsep Polmas secara bertahap.

6)
    Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan yang ditetapkan oleh
masing-masing Polres secara prioritas.

7)
    Membangun dan membina kemitraan dengan pihak terkait baik dengan masyarakat,
pejabat pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pelaku bisnis,
media masa dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

b.
    Tahun 2007 : Tahap Pengembangan

1)
    Memelihara dan meningkatkan segala sesuatu yang telah disiapkan dan dicapai
pada tahun 2006.

2)
    Meningkatkan jumlah petugas Polmas.

3)
    Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai kelanjutan dari
program yang dilaksanakan

4)
    Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun
2006

c.
    Tahun 2008 : Tahap Peningkatan

1)
    Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai kelanjutan dari
program yang dilaksanakan sehingga warga masyarakat dapat berpartisipasi dan
mendukung program Polmas.

2)
    Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun
2007.

d.
    Tahun 2009 : Tahap Pemantapan.

1)
    Polres dan jajarannya telah mengimplementasikan Polmas seoptimal
mungkin.

2)
    Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun
2008.

V.
PROGRAM PENERAPAN POLMAS


1.
Pentahapan Penerapan

a.
    Tahap Persiapan

1)
    Tingkat Polda

a)
    Sosialisasi internal

b)
    Penyiapan sumberdaya manusia

c)
    Pendidikan dan pelatihan

2)
    Tingkat Polres

a)
    Sosialisasi internal dan eksternal]

b)
    Pengembangan kerjasama dengan pemerintah daerah dan instansi
terkait

c)
    Penentu Polsek yang akan dijadikan program Polmas

3)
    Tingkat Polsek

a)
    Kapolsek bersama dengan angggotanya membahas gagasan penerapan program
Polmas.

b)
    Pendekatan dengan tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait guna membangun
persepsi dan komitmen agar masyarakat memahami dan menginginkan diterapkannya
Polmas.

c)
    Pembentukan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) oleh masyarakat
setempat yang difasilitasi oleh Polres/Polsek/Petugas Polmas.

b.
    Tahap Operasional :

Forum
Kemitraan Polisi-Masyarakat bersama segenap warganya melakukan kegiatan yang
meliputi :

1)
    Audit internal terhadap masalah-masalah yang dihadapi dilingkungannya
melalui survey berkala.

2)
    Penyusunan dan pelaksanaan program kerja Forum

3)
    Pembahasan dan pemecahan masala-masala kamtibmas/social yang
terjadi.

4)
    Penyelesaian konflik/pertikaian antar warga yang difasilitasi oleh petugas
Polmas

5)
    Penetapan dan penegakkan peraturan lokal yang mengacu pada nilai-nilai
tradisi/adat setempat.

2.
Pemantauan

Pelaksanaan
pemantauan (monitoring) dilakukan melalui langkah-langkah :

a.
    Koordinasi antara Forum Kemitraan Polisi Masyarakat dengan polsek

b.
    Pembuatan laporan secara berkala oleh petugas Polmas kepada
Polsek

c.
    Evaluasi oleh Polres/Polsek bersama Forum

d.
    Penilaian keberhasilan/keefektifan yang dilakukan dengan cara pengumpulan
pendapat masyarakat oleh lembaga independen

3.
Indikator keberhasilan polmas.

Indikator
keberhasilan/keefektifan program Polmas meliputi :

a.
    Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut sertaan
warganyal

b.
    Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah

c.
    Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk
konflik/pertikaian antar warga

d.
    Kemampuan mengkomodir/menanggapi keluhan masyarakat

e.
    Intensitas dan ekstensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas

IV.
P E N U T U P

Demikian
naskah Kebijakan dan Strategi ini disusun untuk dijadikan sebagai
prinsip-prinsip penuntun dan pedoman umum dalam pengembangan dan penyusunan
program penerapan Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri. Kebijakan dan
Strategi Polri ini perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai piranti lunak
baik sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen sumber daya/organisasi dan
operasional maupun sebagai panduan pelaksanaan tugas dan kewajiban petugas
Polmas dan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat.

Hal-hal
yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam naskah ini serta hal-hal yang
memerlukan penyesuaian berdasarkan hasil evaluasi dalam pengembangan dan
penerapannya akan diatur kemudian.polmas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar